Kenaikan BBM Subsidi Secara Bertahap akan Berdampak Buruk Terhadap Inflasi

Jakarta - Bisnis Energi (20/10/2014), "Tak ada Bulan Madu", Kenaikan harga BBM secara bertahap akan berdampak buruk terhadap inflasi, demikian kutipan dari halaman tiga (3) sub laporan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019, Harian Tempo, Senin, (20/10/2014). Menduduki kursi RI-1, Presiden Joko Widodo ternyata sudah dihadapkan dengan anggaran keuangan negara yang terbatas untuk mengatasi subsidi bahan bakar minyak yang membengkak dari tahun ke tahun yang akan membuat ruang gerak pemerintahan dalam menyusun program menjadi terbatas.
Anggaran Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 menetapkan belanja subsidi BBM Rp 246,5 triliun atau 13,13 persen dari total belanja negara, yang sebesar Rp 1.876,9 triliun. Pada tahun 2015, belanja subsidi BBM Rp 276,1 triliun atau 13,53 persen dari total belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun.
Tim Transisi yang dibentuk setelah lebaran lalu, membuat Tim untuk mengkaji kemungkinan menaikkan BBM bersubsidi. Beberapa skenario kenaikkan dikaji, dari Rp 500 hingga Rp 3.000 per liter.
"Semua sedang disimulasikan apakah subsidi akan tetap atau kenaikan secara gradual yang menimbulkan dampak inflasi rendah," kata anggota Tim Transisi Kelompok Kerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Arif Budimanta.
Arif mengatakan pengalihan subsidi BBM akan berdampak naiknya inflasi dan angka kemiskinan. Jika perencanaan tak matang, daya beli dan konsumsi masyarakat akan terganggu. Penasihat Tim Transisi, Luhut Binsar Panjaitan, lebih maju, mengatakan bahwa Jokowi dan Yusuf Kalla telah memutuskan kenaikan harga BBM sebesar Rp 3.000 per liter. Kenaikan ini dilakukan sekaligus pada November 2014.
Luhut menjelaskan, kenaikan harga tahun ini dilakukan untuk mengatasi ancaman defisit neraca berjalan sebesar Rp 27 triliun. Pemerintahan baru ini juga mewarisi utang dari pemerintahan SBY sebesar Rp 46 triliun.
Dolfi O.F Palit, anggota Pokja APBN lainnya, mengungkapkan dalam dua bulan pertama pemerintahaanya, Jokowi tak memerlukan tambahan dana dari yang sudah dianggarkan di dalam APBNP 2014, karena hingga akhir 2014, Presiden Jokowi hanya akan melanjutkan program reguler pemerintahan SBY. Meski demikian ruang kenaikan BBM masih tetap terbuka.
"Di dalam APBN 2015, ada ruang gerak sebesar Rp 600 triliun yang bisa dimanfaatkan,"kata Dolfi. "Terutama untuk alokasi bantuan sosial sebesar Rp 100 triliun."
Lana Soelistianingsih, Ekonom dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa kenaikkan BBM sebaiknya dilakukan di bulan Februari atau Maret 2015. Dengan estimasi ini, pemerintah baru memiliki waktu untuk menyusun APBN Perubahan dan program kompensasi kenaikan harga BBM.
Lana yang juga menjabat sebagai Ekonom Samuel Sekuritas, mengusulkan pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla langsung menaikkan harga BBM bersubsidi ke harga keekonomian sekitar Rp 11.000 per liter. Dengan kenaikan harga hingga 70 persen untuk Premium dan 100 persen untuk solar, Lana yakin dampak inflasi masih bisa diatasi. "Kalau subsidi langsung nol, inflasi jadi 10,7 persen. Ini relatif lebih rendah daripada dampak inflasi pada kenaikan di 2005 dan 2008,"ujar Lana, Senin, 29/09/2014.
Lana sangat optimis dampak inflasi ini bisa ditangani oleh Indonesia karena pengalaman kita telah mengalami inflasi sampai 17 persen. Menurut Lana, dalam jangka panjang pengurangan sekaligus ini juga memberi tekanan yang lebih rendah terhadap inflasi daripada kenaikan BBM secara bertahap.
"Kalau sekarang naik, tahun depan naik lagi, argo ekspektasi inflasi jalan terus. Pengusaha akan terus menaikkan harga karena tahun depan naik lagi," demikian ungkap Lana.
(Sumber: Harian Tempo, Senin, 20/10/2014)

Komentar

Postingan Populer