Pengembangan Gas CBM Akan Terkendala akibat Anjloknya Harga Minyak Dunia

Jakarta - Bisnis Energi (10/12/2014), Dampak penurunan harga minyak dunia yang berkelanjutan saat ini, dikhawatirkan akan menyulitkan pengembangan migas non konvensional seperti gas coal bed methane (CBM) dan shale gas. Padahal saat ini dari 54 KKS CBM, hanya beberapa yang masih dikembangkan oleh KKKS, sedangkan sisanya 'mati suri'. Hal ini dikemukakan oleh Pelaksana Tugas Dirjen Migas Kementrian ESDM Naryanto Wagimin, pekan lalu.
Menurut Naryanto, jika penurunan harga minyak dunia berkelanjutan, maka bisa dipastikan hal ini menimbulkan masalah baru dalam pengembangan migas non konvensional. Investor diyakini akan berfikir ulang untuk menanamkan uangnya di bisnis ini. Padahal di sisi yang lain pengembangan CBM ini sangat melambat. Hanya sebagian dari WK KKS CBM yang masih dikembangkan oleh KKKS.

Pemerintah diharapkan berkomitmen untuk memberikan insentif bagi KKKS yang serius ingin mengembangkan CBM dan Shale gas ini. Diantaranya dengan mengubah kontrak yang menurut investor tidak menarik.
"Yang tahu persis (habatannya) kan pelakunya. Kalau dia ingin "A", ya kita ikutin,"ujar Naryanto.
Disamping itu ada juga kendala yang lain yaitu perizinan. Terkait dengan hal ini, Pemerintah telah berkomitmen untuk mempermudah perizinan dengan meringkas prosedure administrasi menjadi satu pintu.
Tentang Coal Bed Methane
Gas CBM ini adalah gas alam dengan dominasi gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika.
CBM sama seperti gas konvensional, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, batugamping maupun dari rekahan batuan beku. Cara memproduksi gas CBM juga berbeda adalah dengan merekayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.
Merekayasa gasnya agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawalai dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Seterlah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur.
Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.
Cadangan CBM di Indonesia diperkirakan sebesar 453 TCF yang meliputi beberapa cekungan besar di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan yang terdiri dari:
A. Kategori High Prospective :
1. Cekungan Sumatera Selatan : 183 TCF
2. Cekungan Barito : 101,6 TCF
3. Cekungan Kutai : 89,4 TCF
4. Cekungan Sumatera Tengah : 52,5 TCF
B. Kategori Medium Prospective:
1. Cekungan Tarakan Utara : 17,5 TCF
2. Cekungan Berau : 8,4 TCF
3. Cekungan Ombilin : 0,5 TCF
4. Cekungan Pasir/Asam-Asam: 3,0 TCF
5. Cekungan Jatibarang : 0,8 TCF
C. Kategori Low Prospective :
1. Cekungan Sulawesi : 2,0 TCF
2. Bengkulu : 3,6 TCF

(Sumber: www.migas.esdm.go.id)

Komentar

Postingan Populer