Venezuela Kaya Minyak Mengalami Resesi, Angka Inflasi 63 persen

Bisnis Energi (6/1/2015), Venzuela sebagai negara yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia saat ini mengalami resesi akibat anjloknya harga minyak dunia.
Presiden Venezuela Nicolas Muduro memulai kunjungan ke China dan negara-negara anggota OPEC untuk mencari dukungan keuangan.
Dengan menurunnya harga minyak dunia yang terus menerus berakibat pada pendapatan Venezuela yang ikut melorot dan mengganggu perokonomian negara.
Pekan lalu Venezuela telah mengalami resesi dan inflasi tahunan mencapai 63 persen. Outlook ekonomi itu sangat mengkhawatirkan bagi negara yang telah mendapat pukulan akibat turunnya harga minyak dunia dan keterbatasan impor.
"Ini perjalanan yang sangat penting untuk mendapatkab proyek-proyek baru demi mengatasi kondisi yang dialami negara kami, termasuk penurunan pendapatan akibat melemahnya harga minyak,"kata Presiden Venezuela dalam pidato yang disiarkan radio dan televisi dari Istana Kepresidenan Miraflores, dikutip kantor berita AFP.
Maduro mengatakan, dia akan mendiskusikan masalah ekonomi, keuangan, energi teknologi, pendidikan dan pembangunan dengan Presiden China Xi Jinping.
Dia diperkirakan mengumumkan perubahan langkah untuk mengatasi masalah ini dengan melakukan pembentukan cadangan strategis, menunjuk badan baru untuk mengontrol mata uang saat ini, dan menciptakan lembaga baru untuk mengendalikan distribusi komoditas.
Harga minyak Venezuela turun lebih dari 50 persen sejak Juni 2014, diperdagangkan sebesar USD46,97 pada akhir Desember.
Pemasukan Venezuela dari ekspor minyak 96 persen berupa mata uang asing. Disisi lain ketergantungan akan impor untuk kebutuhan pokok termasuk makanan dan obat-obatan cukup tinggi.
China telah menyetujui pinjaman sebesar USD42 miliar pada negara di Karibia itu. Pinjaman yang telah diberikan sebesar USD42 miliar.
Sebelumnya Venezuela didalam rapat OPEC pada November lalu telah gagal melobi negara-negara Teluk untuk memangkas output minyak agar kembali naik.
Dampak penurunan minyak global ini menurut para analis menyatakan bahwa data manufaktur yang mengecewakan dari negara-negara utama membuat para trader kurang optimistis dengan outlook untuk komoditas.
"Ekonomi global masih terlihat relatif lemah. Ada sedikit perdagangan, dan tidak satupun berita yang cukup kuat dengan proyeksi situasi melimpahnya suplai minyak akan terus terjadi,"ungkap Michael Lynch dari Strategic Energy & Economic Consulting, dikutip AFP.
(Sumber KoranSindo, Selasa, 6/1/2015)


Komentar

Postingan Populer